Minggu, 15 Juli 2012

Saya Nahdiyyin Karena itu Saya Tahlilan...


Ketika kita di serang dengan gombalisasi maka beramai ramailah kita kembali ke identitas diri, di saat Gombalisasi menggedor ruang ruang kesadaran kita yang paling pribadi berebut rebutlah kita bertanya kepada diri kita sendiri, siapakah kita ‘’sebenarnya”?

Kalo boleh,  izinkalah saya menceritakan sedikit dari pengamalan keberagamaan saya, di Lahirkan dari lingkungan keluarga pengamal tradisi ”kaum sarungan” sejak kecil saya telah di kenalkan dengan Tahlilan, sholawatan dan marhabanan.

Setelah dewasa saya membaca buku buku yang mengatakan kalo tahlilan itu adalah bid’ah dan semua bid’ah terancam masuk neraka. Saya percaya penuh dengan hadist itu tapi mengapa saya tetap melakukan tahlilan? Karena saya mengangap tahlilan adalah tradisi yang baik.

Ketika tinggal di Bandung malah saya dan teman teman tentu saja secara bergurau telah membentuk SBT ( Serikat Buruh tahlil). Ketika ada tetangga yang meninggal dunia maka ”geng” SBT inilah yang paling sibuk.

Mengapa demikian? karena anggota SBT inilah yang akan mencari papan buat nisan, menghubungi petugas pemakaman untuk membuat lobang makam. Semua anggota SBT bergerak cepat dan akhirnya segala proses penyelenggaran jenazah pun selesai.
Apakah peran anggota SBT selesai juga?

 Enggak, rekan rekan masih di undang oleh keluarga yang berduka untuk hadir dalam sebuah tradisi yang lazimnya di sebut dengan tahlilan. Di sinilah para tetangga yang tadinya jarang bersua karena belitan kesibukan dunia berkumpul.

Merapatkan lagi tali silaturahmi yang tadinya sempat merenggang, di forum tahlilan juga kita di ingatkan bahwa hidup ini hanya sementara. Tausiah dari ustad terasa sangat mudah di serap karena barusan tadi siang kita sama sama telah mengantarkan seorang jenasah.

Beramai ramai bahkan saling berebutan kita mengangkat kerandah jenasah karena tahu betapa besar ganjaran yang di berikan kepada orang orang yang mengangkat jenasah. Di tempat peristirahatan terakhir( Kuburan) segala kesombongan kita lenyap sudah.

Apapun atribut dunia( Gelar, pangkat, jabatan, kekayaan) yang selama ini tampa kita sadari sering membuat kita petangtang petenteng menjadi lumer di saat kita melihat secara pelan tapi pasti sang mayat di masukan ke dalam tanah.

Tausiah dari pak Ustad di acara tahlilan akan semakin mengokohkan kesadaran kita bahwa suatu saat nanti kita juga akan mengalami seperti apa yang di alami oleh jenasah yang barusan kita antar. Terbukalah segala kunci hati yang selama ini telah menggembok kita.
Ya, selama ini hati kita telah tergembok oleh kesenangan dunia, kita dengan entengnya  menghabiskan puluhan bahkan ratusan ribu hanya untuk sekali makan di restoran mewah sedangkan tetangga kita harus makan dengan menu yang sangat sangat sederhana.

Dengan tampa rasa bersalah kita habiskan uang yang tidak sedikit hanya untuk hobi hobi yang ”aneh” sedangkan kita masih punya tetangga yang masih kebingungan mau makan pake apa besok pagi? Menghadiri tahlilan adalah sebuah cara yang dapat kita lakukan untuk kembali membuka ruang ruang kesadaran yang paling mendalam. Saking dalam ruang kesadaran itu sehingga sering kali kita abai dengannya.

Ada yang mengatakan bagaimana mungkin kita dapat makan dan minum di sebuah keluarga yang baru saja berduka kehilangan salah satu anggota keluarganya apalagi kalo keluarga tersebut berasal dari kalangan fakir miskin. Bukankah itu semua akan membuat mereka seperti sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Bapak, ibu dan sahabatku yang budiman, seandainya keluarga yang berduka berasal dari kalangan yang tidak mampu maka sudah menjadi kewajiban tetangganya untuk menyediakan segala keperluan yang berhubungan dengan pengurusan jenasah.
Keluarga yang miskin hanya menyediakan tempat, sedangkan makanan dan minuman di sediakan oleh para tetangga. Alangkah indahnya hidup bertetangga jika kita melakukan itu. Tahlilan juga dapat menghibur keluarga yang berduka.

Di mana beramai ramai kita mendoakan agar jenasah yang barusan di makamkan di ampuni oleh Allah SWT, kita juga mendoakan semoga keluarga yang di tinggal di berikan kesabaran dalam menghadapi cobaan yang berat ini.

Merekatkan kembali tali silaturahmi, menggugah kesadaran akan datangnya kematian, menghibur keluarga yang berduka. mendapatkan ilmu ilmu agama yang mungkin telah terlupa karena kesibukan mencari fulus, itulah yang saya dapatkan ketika masih aktif di organisasi tampa bentuk ( SBT ) serikat Buruh Tahlil.

Organisasi ini tampa anggaran dasar, tampa ketua dan sekretaris, karena memang murni gerakan spontanitas, anggotanya baru bergerak jika ada pengumuman dari masjid,” Telah meninggal dunia Fulan bin Fulan, jenasah saat ini masih di semayamkan di rumah duka…”.

Saya nahdiyin karena itu sampai saat ini saya masih tahlilan, jika ada yang mengatakan itu bid’ah, biar sajalah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar