Ketika Ayah dan anak Tak Lagi Serumah, Kisah Dari Balik Istana

Begitu beragam budaya di dunia dalam mendidik anak agar lebih mandiri, di barat seperti yang yang pernah saya dengar,  anak anak umur 18 tahunan sudah di ajarkan untuk dapat hidup sendiri, mereka memenej semua keperluan tampa ada lagi intervensi orang tua. Kalo pun ada tidak lagi serutin ketika mereka masih ABG.

Hampir mirip dengan di barat para orang tua di tanah air ada juga yang telah memutuskan berpisah dengan anak anak tercinta ketika sang anak masih berusia belia. Contohnya adalah Izul, dia adalah anak kakak ipar saya, dalam usianya yang masih belasan tahun dia harus mondok di sebuah pesantren.

Apakah Izul sedih dengan keadaanya itu? Awalnya emang sedih tapi ketika dia bertemu dengan teman teman seperjuangan kesedihan itu akhirnya dapat di atasi. Malah ketika liburan di rumah Izul selalu ingat dengan teman temannya di pondok.

Alangkah baiknya keputusan tidak serumah dengan anak anak di ambil melalui kesepakatan bersama di mana kedua belah pihak secara sadar dan sukarela menerima keputusan yang di ambil. Pandangan orang tua yang jauh ke depan kadang di salah artikan oleh sang anak, karena itulah harus di carikan titik temu.

Ketika kesepakatan telah di ambil maka kedua belah pihak akhirnya berpisah dan tidak lagi tinggal dalam satu rumah. Demikianlah yang saya saksikan di sini, di sebuah negeri imut yang terletak di gurun dekat teluk persia.

Namun walau mereka tidak lagi serumah kadang sang anak pergi ke rumah( majelis) orang tuanya  ketika ada perayaan perayaan penting atau kalo mereka sudah tidak kuat lagi menahan rasa rindu yang tak terperi. Mengapa sang anak harus tinggal terpisah dengan orang tuanya?

Sebenarnya mereka tidak terpisah banget, mereka masih tinggal dalam satu komplek atau satu pagar yang sama namun memang tidak lagi seatap. Keputusan memisahkan majelis orang tua dengan majelis anak agar keduanya dapat dengan bebas menerima tamu tamunya.

Seringkali  tamu dari majelis besar(orang tua) berasal dari kalangan kalangan penting, mereka dapat saja utusan utusan dari negara negara tertentu sedangkan tamu di majelis kecil( anak) kebanyakan berasal dari teman sekolah atau teman bermain saja.

Asesoris yang menghiasi majelis juga beda banget, kalo di majelis besar semua tampak formal sedangkan asesoris di majelis kecil sangat khas remaja, misalnya ada maenan helikopter yang tergantung atau ada juga tumpukan sepeda gunung, sungguh sebuah majelis yang sangat dinamis penuh dengan gairah muda.

Selama nguli di lingkungan ini saya belum pernah melihat sang ayah berkunjung ke majelis kecil, sepertinya beliau sangat percaya dengan anak anaknya. Dalam tradisi mereka, kelak sang anak akan menggantikan peran orang tuanya.

Sedari dini sang anak di ajarkan bagaimana nanti menjadi seorang pemimpin, tidak jarang sang ayah mengajak anak anakanya untuk hadir dalam perayaan perayaan tertentu. Kadang juga nama sang anak di jadikan piala dari sebuah perlombaan, misalnya Sheikh rashid Cup atau apalah.

Ini semua di maksudkan agar kelak sang anak tidak lagi kagok berhadapan dengan media. Muncul di media tidak selalu di inginkan. ada juga beberapa kalangan bangsawan gurun yang memilih untuk hidup dalam sepi jauh dari hingar bingar media.

Mereka lebih memilih bekerja dalam hening( mengutip kang Pepih)  sosok sosok seperti inilah yang menurut saya bekerja lebih ikhlas, Teringat akan sosok sayyidina Umar Bin Khotob yang sering menyamar untuk mengetahui keadaan sebenarnya dari rakyatnya.

Sebenarnya kisah itu sangat sangat inspiratif, di mana seorang pemimpin terjun langsung ke tengah tengah rakyatnya tampa rakyat menyadari hal itu. Beda lagi dengan para pemimpin di tanah air di mana segalanya telah di setting sedemikian rupa.

Kalo pun mereka nongol di tengah rakyatnya itu semua di lakukan untuk satu tujuan yakni PENCITRAAN.

                                                   Istana Salah Seorang Penguasa gurun